Minggu, 02 November 2008

Taman Kota = Gelas Kristal Pajangan?

Oleh: Medha Baskara

Taman kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka hijau yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai macam aktivitas mulai rekreasi, olah raga maupun aktivitas yang bersifat pasif. Dengan semakin berkurangnya area lahan terbuka akibat beralih fungsi menjadi pemukiman maupun pemanfaatan lain di perkotaan menyebabkan kebutuhan akan ruang terbuka menjadi semakin tinggi. Perkembangan tersebut sungguh menjadikan taman kota sebagai bagian penting penduduk perkotaan, namun menjadi tidak bermanfaat saat penggunaan taman kota dibatasi.

Banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah kota selaku regulator yang terlalu protektif pada taman-taman kotanya seolah gelas kristal yang takut pecah. Bahkan di Kota Malang bila anda menginjak rumput taman kota semisal di alun-alun, anda harus siap-siap merogoh dompet anda sebesar Rp. 1.000.000,00 alias SATU JUTA RUPIAH. Tanda peringatan akan ketentuan ini tersebar di seluruh pelosok taman. Hal ini tidak saja terjadi di kota Malang saja, bahkan peringatan larangan menginjak rumput juga terjadi di beberapa kampus pendidikan tinggi terkenal. Membaca sambil tiduran diatas hamparan rumput, atau bahkan sambil piknik di taman-taman kota seperti di film-film Holywood terasa bagai mimpi. Berdasarkan hal tersebut, banyak pertanyaan muncul berkaitan komitmen penyelenggara ruang terbuka hijau baik pemerintah (red. Pemerintah Kota) maupun privat (red. Sekolah, Kampus dll) dalam menyediakan RTH sebagai ruang aktivitas bermain dan rekreasi penggunanya. Hal ini menjadi sebuah ironi masyarakat perkotaan disaat berkurangnya ruang bermain akibat perubahan fungsi harus di penjara lagi dengan banyak peraturan penggunaan taman kota.

Sebuah peraturan dibuat untuk ’mengatur’ aktivitas dan perilaku pengguna didalam taman-taman kota. Tidak dipungkiri, kesadaran masyarakat kita didalam merawat dan menjaga fasilitas publik termasuk tanaman dan bunga di taman-taman kota belum dikatakan baik, bahkan bentuk variasi vandalisme dilakukan oleh pengunjung taman kota. Tetapi muncul pertanyaan, dalam konteks kota-kota kita apakah dengan penerapan peraturan ketat seperti diatas, vandalisme tidak akan terjadi ?, seberapa efektif peraturan tersebut mengurangi tindakan vandalisme taman kota ? Apa tidak ada cara/teknik lain yang dapat mengakomodasi terjaganya kualitas taman kota tanpa mengurangi hak warga kota untuk menggunakannya ?

Taman-taman kota secara prinsip termasuk fasilitas umum yang dapat diakses oleh siapapun warga kota tanpa membayar uang sepeserpun. Oleh karena itu taman kota yang bagus adalah taman kota yang mampu mengakomodasi berbagai kegiatan (fungsí) pengguna serta dapat digunakan oleh siapa saja (berbagai kelompok umur, jenis kelamin, dan tingkat sosial) termasuk para penyandang cacat. Untuk bisa menjaga kualitas taman kota tidak saja dibutuhkan pemeliharaan taman yang baik, namun pendekatan harus juga dilakukan sejak perencanaan dan perancangan taman.

Dalam perencanaan dan perancangan taman kota, prinsip-prinsip fungsi publik harus diakomodasikan dalam desain. Agar tidak terjadi konflik dalam penggunaan taman diperlukan zonasi. Zonasi dalam bahasa ‘awam’ berarti menentukan suatu area tertentu pada taman yang diperuntukkan bagi kegiatan tertentu ataupun bagi kelompok pengunjung tertentu. Semakin intensif penggunaan suatu area oleh pengunjung maka semakin membutuhkan perhatian dalam hal pemeliharaan untuk menjaga kualitas taman. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah intensitas penggunaan, semakin sedikit upaya pemeliharaan yang dilakukan.

Sebagai contoh:
Suatu hamparan rumput merupakan salah satu area di taman yang memungkinkan aktivitas pengunjung paling beragam, baik kegiatan aktif (seperti berlari, melompat, melakukan permainan dsb) maupun pasif (duduk, membaca, piknik dll). Intensitas penggunaan taman yang tinggi berakibat pada persoalan diantaranya terganggunya pertumbuhan rumput sehingga beberapa bagian rumput botak dan merusak estetika hamparan rumput secara keseluruhan.

Kebotakan hamparan rumput disebabkan berbagai persoalan diantaranya terjadinya pemadatan tanah, kurangnya capaian air irigasi masuk daerah perakaran, serta genetik kecepatan tumbuh jenis rumput. Akan tetapi dalam konteks persoalan diatas yang paling berpengaruh adalah pemadatan tanah. Sistem perakaran sangat dibutuhkan dan biasanya tidak dapat tumbuh baik di tanah padat. Cara pemelihara taman mengidentifikasi tanah padat diantaranya adalah:

  1. Genangan air pada permukaan tanah lama tidak meresap setelah hujan terjadi.
  2. Akar tanaman, khususnya pohon, dekat/terlihat di permukaan tanah.
  3. Tanaman yang baru ditanam seperti tanaman dua musiman dan herba susah tumbuh.
  4. Daun menguning, khususnya selama musim penghujan saat daun mulai tumbuh menjadi dewasa, beberapa mengurangi perkembangan daun selama musim tumbuh.
  5. Kehadiran beberapa rumput atau gulma yang subur pada tanah padat. Misalnya goosegrass dan rumput gajahan.
  6. Timbulnya beberapa hama dan penyakit pada tanaman baru yang ditimbulkan oleh drainase yang buruk dan kekurangan oksigen.
  7. Tahan dari pengolahan tanah dengan sekop, cangkul, tusukan dan pemeriksaan dengan pisau.
Upaya perbaikan hamparan diantaranya dengan melakukan beberapa kegiatan diantaranya coring (membuat lubang-lubang kecil dimana bagian tanah keras sebagian dibuang), spike (memecah agregat tanah padat dengan pisau), top dress (pemberian media tanam di permukaan pasir), pemupukan, pengapuran, irigasi yang cukup serta penanaman kembali jika diperlukan.

Hamparan rumput selalu “menggoda” setiap orang untuk melakukan aktivitas diatasnya, sehingga bila ada hamparan rumput tetapi pengunjung tak boleh boleh beraktivitas diatasnya meskipun hanya “menginjak”, maka perlu dipertanyakan komitmen penyelenggaraan taman tersebut. Mengkritisi hal ini kita boleh berpikir ada beberapa kemungkinan; pertama, terjadi kesalahan perencanaan-perancangan, perancang ingin ruang yang terbuka dan lega tapi tidak diperuntukkan aktivitas masyarakat, kalau begitu kenapa tidak ditanami ground cover berbunga saja??; kedua, perancang menginginkan ada aktivitas diatasnya tetapi pemelihara, tidak mau repot dengan konsekuensi pemeliharaan intensif, meski mempunyai kemampuan untuk melakukannya; ketiga, pengelola memang tidak mempunyai kapabilitas/kemampuan dalam merencanakan, menanam serta memelihara sesuai untuk menjaga kualitas taman yang baik dan bermanfaat bagi warga kota.

Menilik lembaga pengelolaan ruang terbuka hijau milik pemerintah kota dan area privat, kita mungkin bisa beranggapan dari ketiga kemungkinan diatas, bisa berasumsi pada kemungkinan ketiga, profesionalisme pengelolaan ruang terbuka hijau secara teknis dan manajerial belum mempunyai tingkatan yang sesuai. Kemampuan tim perencanaan dan desain, berapa orang yang berlatar belakang arsitektur lanskap??, untuk tim konstruksi dan pemeliharaan, berapa orang yang berlatar belakang agronomi, hortikultura maupun arsitektur lanskap??

Standar pengelolaan belum menjadi aturan baku sehingga untuk mempermudah operasional dibuat saja peraturan yang mempermudah pengelola secara sesaat. Yang penting disini adalah taman dan ruang hijau sudah “kelihatan” ada, dengan bunga dan tanaman hias lainnya…. Meski tidak bisa dinikmati sepenuhnya oleh pengunjung yang notabene warga kota. Upaya mengambil jalan yang paling aman dan nyaman sebagai pengelola dengan aturan yang tidak pandang bulu ini bila dibiarkan akan memenjarakan warga kota sendiri. “Boleh dilihat, asal jangan disentuh” bagai gelas kristal dalam pajangan, tak boleh dipakai minum meski kehausan…..dehidrasi …. dan akhirnya kita mati…. Mau??

Tidak ada komentar: